“GENDER” HAMBATAN KESUKSESAN BAGI PEREMPUAN

Oleh: Eren - 915070083



Kesetaraan perempuan dan laki-laki telah menjadi pembicaraan sejak dulu. Melalui perjalanan panjang untuk meyakinkan dunia bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi hanya karena perbedaan jenis kelamin, dan perbedaan secara sosial (gender), akhirnya pada tahun 1979 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Konferensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konferensi ini lebih dikenal dengan istilah CEDAW dan menjadi acuan utama untuk Hak Asasi Perempuan (HAP). Konferensi ini sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 menjadi UU No. 7/1984, tetapi tidak pernah disosialisasikan dengan baik oleh negara.


Konferensi maupun UU tersebut pada kenyataannya tidak juga sanggup menghapus diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Di seluruh dunia masih ada perempuan yang mengalami segala bentuk kekerasan (kekerasan fisik, mental, seksual dan ekonomi) baik di rumah, di tempat kerja maupun di masyarakat. Oleh karena itu PBB kembali mengeluarkan deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1993. Deklarasi ini tidak begitu dikenal oleh pemerintah Indonesia, sehingga jarang diacu dalam persidangan ataupun dalam penyelesaian masalah-masalah hukum yang berhubungan dengan kekerasan berbasis gender.


Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Manakah perbedaan yang dialami (pemberian Tuhan) dan manakah yang dipelajari atau diperoleh

atau perbedaan yang dibangun oleh masyarakat sendiri ? Ketidak setaraan antara perempuan dan laki-laki berawal dari kerancuan pemahaman antara perbedaan alami dan yang tidak alami tersebut.



Gender

Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah segala perbedaan biologis yang dibawa lahir antara perempuan dan laki-laki. Di luar semua itu adalah perbedaan yang dikenal dengan istilah gender. Perbedaan yang tidak alami atau perbedaan sosial mengacu pada perbedaan peranan dan fungsi yang dikhususkan untuk perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut diperoleh melalui proses sosialisasi atau pendidikan di semua institusi (keluarga, pendidikan, agama, adat dan sebagainya). Gender penting untuk dipahami dan dianalisis untuk melihat apakah perbedaan yang bukan alami ini telah menimbulkan diskriminasi dalam arti perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap perempuan.


Apakah gender telah memposisikan perempuan secara nyata menjadi tidak setara dan menjadi subordinat oleh pihak laki-laki?


Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus,

lemah, perasa, sopan, penakut. Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja, periklanan dan media. Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial; masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender.


Karena citra ideal itu rekaan budaya, disebut juga sebagai gender, dalam kenyataannya, tidak selalu demikian. Kita tahu ada saja perempuan yang tidak lemah lembut, yang agresif, pencari nafkah, dan de facto sebagai kepala keluaga. Sebaliknya kita juga sering menemui laki-laki yang lemah lembut, de facto bukan pencari nafkah, dsb. Akan tetapi gambaran gender itu tetap menjadi pedoman hidupnya dalam melihat dirinya maupun dalam melihat lawan jenisnya. Sebab itu bagi sebagian besar perempuan, yang masih kental dipengaruhi oleh gambaran ideal gender, akan sulit sekali keluar dari gambaran ideal itu, meskipun barangkali perempuan itu sudah berpendidikan tinggi, dengan jabatan struk-tural/fungsional, pernah tinggal/hidup di kebudayaan lain karena memang sudah menjadi kebudayaannya. Keadaan ini juga yang menjadi hambatan bagi perempuan untuk "tampil" dan berpartisipasi di domain yang secara budaya bukan domainnya. Ada rasa risi. Pekerjaan di kantor dalam hubungan citra budaya, bukanlah tempat perempuan. Kalaupun mereka bekerja, karena berbagai alasan memang harus bekerja, jarang mau "menonjolkan diri", karena takut dijuluki berambisi atau agresif. Sebab itu banyak dari perempuan-perempuan yang berpotensi, dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, tidak mengembangkan kemam-puannya. Padahal perempuan yang jumlahnya lebih dari separuh itu seharusnya merupakan sumber daya manusia yang potensial dan berkualitas.

0 Responses

Post a Comment